ELFRIDON SIHOTANG

SELAMAT DATANG DI ELFRIDON SIHOTANG hubungi kami di 081270885828-PIN bb 24E08B4F admin:by elfridon sihotang

ADAT DAN UMPASA BATAK

pakaian suku batak asli
SEKILAS ADAT & BUDAYA BATAK
SEJARAH BATAK

Versi sejarah mengatakan si Raja Batak dan rombongannya datang dari Thailand, terus ke Semenanjung Malaysia lalu menyeberang ke Sumatera dan menghuni Sianjur Mula Mula, lebih kurang 8 Km arah Barat Pangururan, pinggiran Danau Toba sekarang.Versi lain mengatakan, dari India melalui Barus atau dari Alas Gayo berkelana ke Selatan hingga bermukim di pinggir Danau Toba.
Diperkirakan Si Raja Batak hidup sekitar tahun 1200 (awal abad ke-13). Raja Sisingamangaraja XII salah satu keturunan si Raja Batak yang merupakan generasi ke-19 (wafat 1907), maka anaknya bernama si Raja Buntal adalah generasi ke-20. Batu bertulis (prasasti) di Portibi bertahun 1208 yang dibaca Prof. Nilakantisasri (Guru Besar Purbakala dari Madras, India) menjelaskan bahwa pada tahun 1024 kerajaan COLA dari India menyerang SRIWIJAYA yang menyebabkan bermukimnya 1.500 orang TAMIL di Barus. Pada tahun 1275 MOJOPAHIT menyerang Sriwijaya, hingga menguasai daerah Pane, Haru, Padang Lawas. Sekitar rahun 1.400 kerajaan NAKUR berkuasa di sebelah timur Danau Toba, Tanah Karo dan sebagian Aceh.
Dengan memperhatikan tahun tahun dan kejadian di atas diperkirakan :
  • Si Raja Batak adalah seorang aktivis kerajaan dari Timur danau Toba (Simalungun sekarang), dari selatan danau Toba (Portibi) atau dari barat danau Toba (Barus) yang mengungsi ke pedalaman, akibat terjadi konflik dengan orang orang Tamil di Barus.
  • Akibat serangan Mojopahit ke Sriwijaya, Si Raja Batak yang ketika itu pejabat Sriwijaya yang ditempatkan di Portibi, Padang Lawas dan sebelah timur Danau Toba (Simalungun)
Sebutan Raja kepada si Raja Batak diberikan oleh keturunannya karena penghormatan, bukan karena rakyat menghamba kepadanya. Demikian halnya keturunan si Raja Batak seperti Si Raja Lontung, Si Raja Borbor, Si Raja Oloan dsb, meskipun tidak memiliki wilayah kerajaan dan rakyat yang diperintah. Selanjutnya menurut buku TAROMBO BORBOR MARSADA anak si Raja Batak ada 3 (tiga) orang yaitu : GURU TETEABULAN, RAJA ISUMBAON dan TOGA LAUT. Dari ketiga orang inilah dipercaya terbentuknya Marga Marga Batak.
Sumber : disarikan dari buku "LELUHUR MARGA MARGA BATAK, DALAM SEJARAH SILSILAH DAN LEGENDA" cet. ke-2 (1997) oleh Drs Richard Sinaga, Penerbit Dian Utama, Jakarta

ADAT BATAK

DALIHAN NA TOLU - The Philosophy of Life
Sistem kekerabatan orang Batak menempatkan posisi seseorang secara pasti sejak dilahirkan hingga meninggal dalam 3 posisi yang disebut DALIHAN NA TOLU (bahasa Toba), Di Simalungun disebut TOLU SAHUNDULAN . Dalihan dapat diterjemahkan sebagai "tungku" dan "hundulan" sebagai "posisi duduk". Keduanya mengandung arti yang sama : 3 POSISI PENTING dalam kekerabatan orang Batak, yaitu :

  1. HULA HULA atau TONDONG : yaitu kelompok orang orang yang posisinya "di atas", yaitu keluarga marga pihak istri sehingga disebut SOMBA SOMBA MARHULA HULA yang berarti harus hormat kepada keluarga pihak istri agar memperoleh keselamatan dan kesejahteraan.
  2. DONGAN TUBU atau SANINA : yaitu kelompok orang orang yang posisinya "sejajar", yaitu : teman/saudara semarga sehingga disebut MANAT MARDONGAN TUBU, artinya menjaga persaudaraan agar terhindar dari perseteruan.
  3. BORU : yaitu kelompok orang orang yang posisinya "di bawah", yaitu saudara perempuan kita dan pihak marga suaminya, keluarga perempuan pihak ayah. Sehingga dalam kehidupan sehari hari disebut ELEK MARBORU artinya agar selalu saling mengasihi supaya mendapat berkat.
Dalihan Na Tolu bukanlah kasta karena setiap orang Batak memiliki ketiga posisi tersebut : ada saatnya menjadi Hula hula/Tondong, ada saatnya menempati posisi Dongan Tubu/Sanina dan ada saatnya menjadi BORU. Dengan dalihan Na Tolu, adat Batak tidak memandang posisi seseorang berdasarkan pangkat, harta atau status seseorang. Dalam sebuah acara adat, seorang Gubernur harus siap bekerja mencuci piring atau memasak untuk melayani keluarga pihak istri yang kebetulan seorang Camat. Itulah realitas kehidupan orang Batak yang sesungguhnya. Lebih tepat dikatakan bahwa Dalihan Na Tolu merupakan SISTEM DEMOKRASI Orang Batak karena sesungguhnya mengandung nilai nilai yang universal.


SIAPAKAH ORANG BATAK? :
Orang Batak terdiri dari 5 sub etnis yang secara geografis dibagi sbb:
  1. Batak Toba (Tapanuli) : mendiami Kabupaten Toba Samosir, Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah mengunakan bahasa Batak Toba.
  2. Batak Simalungun : mendiami Kabupaten Simalungun, sebagian Deli Serdang, dan menggunakan bahasa Batak Simalungun.
  3. Batak Karo : mendiami Kabupaten Karo, Langkat dan sebagian Aceh dan menggunakan bahasa Batak Karo
  4. Batak Mandailing : mendiami Kabupaten Tapanuli Selatan, Wilayah Pakantan dan Muara Sipongi dan menggunakan bahasa Batak Mandailing
  5. Batak Pakpak : mendiami Kabupaten Dairi, dan Aceh Selatan dan menggunakan bahasa Pakpak.
Suku Nias yang mendiami Kabupaten Nias (Pulau Nias) mengatakan bahwa mereka bukanlah orang Batak karena nenek moyang mereka bukan berasal dari Tanah Batak. Namun demikian, mereka mempunyai marga marga seperti halnya orang Batak.
Dalam buku ANEKA RAGAM BUDAYA BATAK [Seri Dolok Pusuk Buhit-10] terbitan YAYASAN BINABUDAYA NUSANTARA TAOTOBA NUSABUDAYA, 2000 hal 31, menyebutkan bahwa etnis Batak bukan hanya 5, akan tetapi sesungguhnya ada 11 [sebelas], ke 6 etnis batak lainnya tsb adalah :

NO   Nama sub etnis   Wilayah yang dihuni

1.  Batak PASISIR            Pantai Barat antara Natal dan Singkil
2.  Batak ANGKOLA           Wilayah Sipirok dan P. Sidempuan
3.  Batak PADANGLAWAS   Wil. Sibuhuan, A.Godang, Rambe,                                       Harahap
4.  Batak MELAYU             WiL Pesisir Timur Melayu
5.  Batak NIAS                 Kab/Pulau Nias dan sekitarnya
6.  Batak ALAS GAYO        Aceh Selatan,Tenggara, dan Tengah

Yang disebut wilayah Tanah Batak atau Tano Batak ialah daerah hunian sekeliling Danau Toba, Sumatera Utara. Seandainya tidak mengikuti pembagian daerah oleh Belanda [politik devide et impera] seperti sekarang, Tanah Batak konon masih sampai di Aceh Selatan dan Aceh Tenggara.
BATAK ALAS GAYO

Beberapa lema/dialek di daerah Alas dan Gayo sangat mirip dengan lema bahasa Batak. Demikian juga nama Si Alas dan Si Gayo ada dalam legenda dan tarombo Batak. Dalam Tarombo Bona Laklak [tarombo pohon Beringin] yang dilukis cukup indah oleh L.Sitio [1921] nama Si Jau Nias, dan Si Ujung Aceh muncul setara nama Sorimangaraja atau Si Raja Batak I. Disusul kemudian hadirnya Si Gayo dan Si Alas setara dengan Si Raja Siak Dibanua yang memperanakkan Sorimangaraja, kakek dari Si Raja Batak.

BATAK PAKPAK

Sebagian kecil orang Pakpak enggan disebut sebagai orang Batak karena sebutan MPU Bada tidak berkaitan dengan kata OMPU Bada dalam bahasa Batak. Kata MPU menurut etnis Pakpak setara dengan kata MPU yang berasal dari gelar di Jawa [MPU Sendok, MPU Gandring]. Tetapi bahasa Pakpak sangat mirip dengan bahasa Batak, demikian juga falsafah hidupnya.

BATAK KARO

Sub etnis ini juga bersikukuh tidak mau disebut sebagai kelompok etnis Batak. Menurut Prof Dr. Henry G Tarigan [IKIP Negeri Bandung] sudah ada 84 sebutan nama marga orang Karo. Itu sebabnya, orang Karo tidak sepenuhnya berasal dari etnis Batak, karena adanya pendatang kemudian yang bergabung, misalnya marga Colia, Pelawi, Brahmana dsb. Selama ini di Tanah Karo dikenal adanya MERGA SILIMA [5 Marga].

BATAK NIAS

Suku Nias yang mendiami Kabupaten Nias (Pulau Nias) mengatakan bahwa mereka bukanlah orang Batak karena nenek moyang mereka bukan berasal dari Tanah Batak, bukan dari Pusuk Buhit. Masuk akal karena secara geografis pulau Nias terleta agak terpencil di Samudera Indonesia, sebelah barat Sumatera Utara.Namun demikian, mereka mempunyai marga marga seperti halnya orang Batak.

PERDEBATAN

Di antara masyarakat Batak ada yang mungkin setuju bahwa asal usul orang Batak dari negeri yang berbeda, tentu masih sangat masuk akal. Siapa yang bisa menyangkal bahwa Si Raja Batak yang pada suatu ketika antara tahun 950-1250 Masehi muncul di Pusuk Buhit, adalah asli leluhur Orang Batak??? Sejak jaman dulu orang Batak memang perantau ulung. Di Sunatera Utara saja banyak orang Batak yang bermukim di daerah Asahan, Labuhan Batu Sumatera Utara, sejak lama telah menghapus marganya kemungkinan karena kebiasaan mereka setelah memeluk agama Islam. Bahkan di daerah Langkat ditemukan penduduk bermarga seperti Gerning, Lambosa, Ujung Pinayungan, Berastempu, Sibayang, Kinayam, Merangin angin, dll yang konon merupakan kelompok marga Malau [W.M Hutagalung, Pustaha Batak, Tulus Jaya, hal 58]. Konon menurut cerita, istri Raja Langkat berasal dari kelompok Marga tsb. Batak apa pula mereka kita namakan?

Mungkin banyak literatur literatur tersimpan di Negeri Belanda sana yang belum mengungkap bagaimana sesungguhnya pluralisme di Tanah Batak. Namun dengan kacamata Nasional kita melihat bahwa Indonesia sangat kaya dengan adat dan budaya daerah, salah satunya adalah adat dan budaya Batak!
BUDAYA BATAK

MARGA dan TAROMBO

MARGA adalah kelompok kekerabatan menurut garis keturunan ayah (patrilineal) Sistem kekerabatan patrilineal menentukan garis keturunan selalu dihubungkan dengan anak laki laki. Seorang Batak merasa hidupnya lengkap jika ia telah memiliki anak laki laki yang meneruskan marganya. Sesama satu marga dilarang saling mengawini, dan sesama marga disebut dalam Dalihan Na Tolu disebut Dongan Tubu. Menurut buku "Leluhur Marga Marga Batak", jumlah seluruh Marga Batak sebanyak 416, termasuk marga suku Nias.
TAROMBO adalah silsilah, asal usul menurut garis keturunan ayah. Dengan tarombo seorang Batak mengetahui posisinya dalam marga. Bila orang Batak berkenalan pertama kali, biasanya mereka saling tanya Marga dan Tarombo. Hal tersebut dilakukan untuk saling mengetahui apakah mereka saling "mardongan sabutuha" (semarga) dengan panggilan "ampara" atau "marhula- hula" dengan panggilan "lae/tulang". Dengan tarombo, seseorang mengetahui apakah ia harus memanggil "Namboru" (adik perempuan ayah/bibi), "Amangboru/Makela",(suami dari adik ayah/Om) "Bapatua/Amanganggi/Amanguda" (abang/adik ayah), "Ito/boto" (kakak/ adik), PARIBAN atau BORU TULANG (putri dari saudara laki laki ibu) yang dapat kita jadikan istri, dst.
rumah adat batak

Penggunaan Umpasa Batak

A. Keterangan pembuka:
  1. Jambar, adalah sesuatu yang diterima atau diperoleh seseorang, berdasarkan kedudukannya dalam adat Batak. Dapat dikatakan, “jambar” itu adalah hak pribadi atau suatu kelompok, karena kedudukannya dalam hubungan kekerabatan/adat. Dalam kehidupan & budaya orang Batak, setidak-tidaknya dikenal lima jenis jambar, yakni: jambar ulos; jambar juhut (daging); jambar hepeng (uang); jambar hata; jambar pasahathon pasu-pasu (untuk memimpin doa dalam suatu acara khusus, sesuai dengan agama/iman kepercayaan kelompok yang menyelenggarakan acara).
  2. Kalau ketiga jambar lain relatif tidak menuntut suatu kemampuan/keahlian khusus dari diri seseorang, karena cukup hanya menerima saja (paling-paling hanya perlu mengucapkan terimakasih), dua di antara jambar itu menuntut kemampuan atau kepandaian berbicara di hadapan umum, yakni jambar hata dan penyampaian doa pasu-pasu. Umumnya “jambar hata” dibagikan kepada orang-perseorangan, atau beberapa orang dalam satu kelompok (menurut “horong”: misalnya “horong” hula-hula; boru/bere; ale-ale & dongan sahuta; pemimpin lingkungan; dan menurut “kelompok Ompu,” di kalangan yang berkakak-adik (dongan tubu; kerabat semarga); dsb.
  3. Pada dasarnya, penerima jambar hata selalu terdiri dari beberapa orang dalam kelompoknya. Sehingga mereka dapat memilih/menghormati salah satu di antara mereka untuk menyampaikannya (biasanya yang tertua, baik menurut umur maupun menurut kedudukan dalam “tarombo”; kalau memang mampu. Kalau tidak, jambar akan digeserkan kepada yang lebih muda, dsb). Ada kalanya kelak, orang-orang tua atau yang dituakan dalam kelompok, sudah menjadi sangat langka, atau tidak punya kemampuan menerima kehormatan “jambar hata.” Karena itu, generasi yang lebih muda harus mempelajari atau mempersiapkan diri untuk itu, kalau mereka sadar bahwa adat Batak perlu dilestarikan.
  4. Dalam buku ini, kami tidak bermaksud memberikan contoh-contoh bentuk kata-kata (sambutan) yang akan disampaikan oleh seseorang dalam hal memenuhi haknya menerima jambar hata dalam bentuk “prosa”. Hendaknyalah setiap orang mempelajarinya sendiri melalui nalarnya mengamati setiap jenis acara adat yang pernah diikutinya
B. Peranan penyampaian umpama (umpasa):
Seperti suku-suku bangsa lainnya di kawasan Nusantara, setidak-tidaknya kalangan suku-suku Melayu, semua sub-etnik dalam suku Batak juga menggunakan pepatah-petitih dalam hal setiap perhelatan adat; bahkan dalam occasion (peristiwa) lain, seperti misalnya kematian, kecelakaan, martandang (menemui dan berbicara dengan gadis-gadis yang diharapkan dapat dipinang), atau hanya untuk sekedar penyampaian nasehat, dlsb.
Karena jambar hata (dalam occasion apapun) seringkali menuntut, atau lebih baik ditutup atau disimpulkan melalui pengucapan umpama (umpasa), maka ada baiknya kami sajikan beberapa di antaranya untuk dikaji/dipelajari oleh generasi muda.
Yang disajikan di bawah hanyalah umpama (umpasa) yang kami anggap sederhana atau paling dasar, merupakan standar yang tidak terlalu sulit digunakan secara umum, dalam berbagai acara (occasion) itu. Kami menyajikan menurut kelompok penggunaannya.
1. Umpama dan tanya-jawab pembuka dalam hal menerima/penyampaian makanan adat:
Dimulai dengan kata basa-basi (prosa) pembuka dari si penanya, maka perlu disambung dengan:
Asa, danggur-dangur barat ma tongon tu duhut-duhut
Nunga butong hita mangan, mahap marlompan juhut,
Ba haroan ni ulaonta on, dipaboa amanta suhut.
Atau:
Ba, dia ma langkatna, dia unokna
Dia ma hatana, dia nidokna,
Haroan ni ulaonta on,
Tung tangkas ma dipaboa amanta suhut
Respons si-pemberi (pembawa) makanan: Kata basa-basi pembukan (prosa), dan disambung:
Asa bagot na marhalto ma na tubu di robean
Ba horas ma hamu na manganhon, tu gandana ma di hami na mangalean
Ekstra:
Taringot di sipanganon na hupasahat hami rajanami
Molo tung na mangholit hami, sai ganda ma na hinolit tu joloansa on
Dan ditutup dengan:
Anggo sintuhu ni sipanganon masak na hupasahat hami
Ba, panggabean, parhorasan do rajanami (tu hula-hula); tu hamu raja ni haha-anggi
(bila makanan itu untuk kawula yang berkakak-adik)
Sambungan sapaan-pertanyaan dari si penerima makanan. Dimulai lagi dengan kata basi-basi, dan disambung dengan:
Antong raja ni ……….; Asa tangkas ma uju Purba, tangkasan uju Angkola
Asa tangkas hita maduma, tangkasan hita mamora.
Jadi, asa songon hata ni natua-tua do dohonon:
Siangkup ninna, songon na hundul, jala siudur songon na mardalan
Ba, angkup ni angka na uli na denggan, tung tungkas ma dipaboa amanta suhut,
Asa adong sibegeon ni pinggol, sipeopon ni roha.
Jawaban penutup:
I ma tutu rajanami, nunga apala dipadua hali raja i manungkun
Ba saonari, tung tangkas ma antong paboaonnami:
Anggo siangkupna dohot sidonganna rajanami, ima:……..
(dia ceritakan secara singkat dalam bentuk prosa, maksud tujuan acara adat itu)
2. Umpama dalam berbagai perhelatan, yang memintakan berkat:
a. Perkawinan (kepada penganten)— Biasanya umpama ini harus disampaikan dengan jumlah ganjil; mis: satu, tiga, lima, tujuh dsb. Di zaman modern ini di perantauan (karena soal faktor keterbatasan waktu), terutama bagi generasi muda, boleh saja mengucapkan hanya satu saja. Kalau mampu menghafalnya, boleh sampai tiga umpama:
Contoh:
1) Bintang na rimiris ma, tu ombun na sumorop Asa anak pe antong di hamu riris, boru pe antong torop
2) Tubuan laklak ma, tubuan sikkoru di dolok ni Purbatua Sai tubuan anak, tubuan boru ma hamu, donganmu sarimatua
3) Pir ma pongki, bahul-bahul pansalongan Sai pir ma tondimuna, jala tongtong hamu masihaholongan
4) Pinantik hujur tu jolo ni tapian
Tusi hamu mangalangka, tusi ma dapot parsaulian
5) Pangkat-hotang.Tu dia hamu mangalangka, tusi ma dapot pangomoan
6) Tangki jala hualang, garinggang jala garege
Tubuan anak ma hamu, partahi jala ulubalang
Tubuan boru par-mas jala pareme.
7) Tubu ma hariara, di tonga-tonga ni huta
Sai tubu ma anak dohot borumu
Na mora jala na martua
Kalau “umpama” diucapkan (disampaikan) hanya satu (single) di antara umpama di atas, tak tak perlu ada umpama penutup. Tapi kalau menyampaikan dua atau empat, atau bahkan enam, sebaiknya ditutup dengan umpama pembuat jumlah-ganjil berikut:
Asa, sahat-sahat ni solu ma, sahat tu bontean
Sai sahat ma hita on sude mangolu,
Sahat ma tu parhorasan, sahat tu panggabean.
Bila kita harus menyampaikan ulos pansamot (kepada orangtua penganten laki-laki) atau kepada besan kita: beberapa umpama yang relevan antara lain adalah:
1) Andor halukka ma patogu-togu lombu
Saur ma hamu matua, patogu-togu pahompu
2) Eme sitamba-tua ma parlinggoman ni siborok
Tuhanta Debata do silehon tua, sude ma hita on diparorot
3) Tubu ma dingin-dingin di tonga-tonga ni huta
Saur ma hita madingin, tumangkas hita mamora
4) Sitorop ma dangkana, sitorop rantingna
Sitorop ma nang bulungna
Sai torop ma hahana, torop anggina
Torop ma nang boruna
Umpama di atas, dapat pula dipakai untuk memberikan kata berkat/pasu-pasu kepada pihak lain, termasuk dalam bentuk acara “selamatan” lain-lain; dan tentu saja sebaiknya ditutup dengan ”Sahat-sahat ni solu……dst.”.
b. Tuntunan dari pihak hula-hula kepada pihak boru, karena menerima permintaan bimbingan (paniroion) terhadap pembicaraan pihak-suhut dengan pihak besan-nya:
Lebih dahulu mengucapkan kata basa-basi tuntunan secara “prosa”, dan diakhiri dengan puisi (umpama) berikut:
Asa balintang ma pagabe, tumundalhon sitadoan
Arimuna ma gabe, ai nunga hamu masipaolo-oloan
c. Mangampu (mengucapkan kata sambutan terimaksih) terhadap kata-kata ucapan syukur dari pihak hula-hula, atau pihak lain untuk kita:
Setelah mengucapkan kata-kata mangampu secara “prosa”, maka diakahiri dengan puisi (umpama) berikut:
1). Asa turtu ma ninna anduhur, tio ninna lote
Sude hata na denggan, hata nauli na pinasahatmuna i
Sai unang ma muba, unang ma mose.
2). Tingko ma inggir-inggir, bulungna i rata-rata
Di angka pasu-pasu na nipinasahatmuna, pasauthon ma Tuhanta Debata
3). Asa naung sampulu pitu ma, jumadi sampulu-alu
Sude hata na uli na pinsahatmunai, ampuonnami ma i martonga ni jabu.
d. Umpama oleh Raja-parhata dari pihak parboru dalam hal mengucapkan dan akan membagi uang “ingot-ingot” (setelah menerima porsi dari pihak paranak untuk digabungkan):
Nunga jumpang tali-aksa ihot ni ogung oloan
Nunga sidung sude hata, ala tangkas do hita masipaolo-oloan
Bulung ni losa ma tu bulung ni indot
Bulung motung mardua rupa,
Sude na tahatai i ingkon taingot
Asa unang adong hita na lupa ….; Ingot-ingot; ingot-ingot; ingot-ingot.
e. Umpana dalam waktu menutup pembicaraan dalam pesta-kawin: dengan cara membagi uang “Olop-olop,” oleh Raja-parhata fihak parboru, setelah menerima porsi uang olop-olop dari fihak paranak untuk digabungkan:
Asa binanga ni Sihombing ma binongkak ni Tarabunga
Tu sanggar ma amporik, to lombang ma satua
Sinur ma na pinahan, jala gabe na niula
Simbur magodang angka dakdanak songon ulluson pura-pura
Hipas angka na magodang tu pengpengna laho matua
Horas pardalan-dalan, mangomo nang partiga-tiga
Manumpak ma Tuhanta dihorasi hita saluhutna,…
Asa aek siuruk-uruk, ma tu silanlan aek Toba
Na metmet soadong marungut-ungut, na magodang sude marlas ni roha…
Olop-olop; olop-olop; olop-olop.
f. Dukacita: Hanya dalam keadaan duka-cita yang mendalam, karena kematian di luar bentuk “saur-matua” (terkadang juga di luar “sarimatua”):
Setelah mengucapkan kata-kata penghiburan dalam bentuk prosa; maka ditutup dengan puisi (umpama):
Asa songon hata ni umpama ma dohononku:
Bagot na madungdung ma, tu pilo-pilo na marajar
Sai salpu ma angka na lungun, sai ro ma angka na jagar.
Atau: Hotang binebebe, hotang pinulos-pulos
Unang hamu mandele, ai godang do tudos-tudos.
g. Nasehat: untuk yang tak mungkin menikmati/memperoleh lagi sesuatu seperti di masa lalu:
Ndang tardanggur be na gaung di dolok ni Sipakpahi
Ndang haulahan be na dung, songon sibokka siapari.
sisinga mangaraja
*****
Martahuak ma manuk di bungkulan ni ruma,
Horas ma hula-hulana,songoni nang akka boruna.

Simbora ma pulguk, pulguk di lage-lage,
Sai mora ma hita luhut, huhut horas jala gabe.

Hariara madungdung, pilo-pilo na maragar,
Sai tading ma na lungun, ro ma na jagar.

Sinuan bulu sibahen na las,
Tabahen uhum mambahen na horas.

Eme ni Simbolon parasaran ni si borok,
Sai horas-horas ma hita on laos Debata ma na marorot.

Sititik ma sigompa, golang-golang pangarahutna,
Tung so sadia pe naeng tarpatupa, sai anggiat ma godang pinasuna.

Pinasa ni Siantar godang rambu-rambuna,
Tung otik pe hatakki, sai godang ma pinasuna.

Tuat si puti, nakkok sideak,
Ia i na ummuli, ima ta pareak.

Aek godang tu aek laut,
Dos ni roha sibaen na saut.

Napuran tano-tano rangging marsiranggongan,
Badan ta i padao-dao, tondita i marsigomgoman.

Marmutik tabu-tabu mandompakhon mataniari,
Sai hot ma di hamu akka pasu-pasu, laho marhajophon akka na sinari.

Bona ni pinasa, hasakkotan ni jomuran,
Tung aha pe dijama hamu, sai tong ma dalan ni pasu-pasu.

Mandurung di aek Sihoru-horu, manjala di aek Sigura-gura,
Udur ma hamu jala leleng mangolu, hipas matua sonang sora mahua.

Dolok ni Simalungun, tu dolok ni Simamora
Salpu ma sian hamu na lungun, sai hatop ma ro si las ni roha
nuansa pantai danau toba


Manat unang tartuktuk, dadap unang tarrobung
Artinya: Sebelum melakukan sesuatu lebih baik di teliti dulu situasi apa yang mau dilakukan
Jolo nidodo asa hinonong
Artinya: Sebelum melakukan sesuatu lebih baik di teliti dulu situasi apa yang mau dilakukan
Jolo tinaha garung niba, niantan sulangat niba
Artinya: Sebelum melakukan sesuatu lebih baik kalau kita menyadari kemampuan diri sendiri.
Aek godang tu aek laut, dos ni roha sibahen na saut
Artinya: Musyawarah untuk mufakat
Balintang ma pagabe tumandangkon sitandoan
Arinta ma gabe molo marsipaoloan
Artinya: Kita akan mendapatkan keberhasilan jika seia sekata
Amporik marlipik, onggang marhabang,
Gabe parboli na otik laos gabe do parboli na godang
Artinya:
Namandanggurhon tu dolok do molo basa namarhula-hula
Artinya:
Janji urat ni eme tu laklak ni simarlasuna, Adat na denggan na so ra sega, uhum na uli na so ra muba i, asa manumpak ma Tuhanta i sinur ma pinahan gabe na niula jala horas jolma.
Martumbur ma baringin, mardangka ma hariara, matorop ma hamu maribur, matangkang ma juara.
Sai marrongkap mai songon bagot, marsibar songon ambalang, jala sai masigomgoman ma tondi ni nasida tu na tama.
Dangka ni hariara ma pinangait-ngaithon, tubuma dihamu anak dohot boru, sai unang ma panahit-nahithon.
Balintang ma pagabe tumandakhon sitadoan, saut do hamu gabe asal ma tontong masipaolo-oloan.
Dangir-dangir ni batu ma hamu, pandakdahan ni simbora, Gabe do hamu jala sarimatua asal ma sai marsada ni roha.
Ai na tinapu salaon, salaon situa-tua, Denggan ma hamu masianju-anjuan asa saut gabe jala sarimatua.
Sai situbu laklak ma hamu situbu singkoru di dolok ni purbatua, sai tubuan anak ma hamu tubuan boru, donganmuna sarimatua.
Hariara na bolon bahen parlape-lapean, Sai tubu ma di hamu anak dohot boru na bolas pangunsandean.
Bagot na mandung-dung tu pilo-pilo marajar, Tading ma antong na lungun, sai roma na jagar.
Sahat-sahat ni soluma sahat tu bontean, Sahat ma hamu tu parhorasan, sahat tu panggaben.
Tuat ma na dolok martungkot sialagundi, adat ni ompunta sijolo-jolo tubu siihuttonon ni na di pidi.
Sinuan bulu sibahen nalas, Sinuan uhum sibaen na horas.
Muba dolok muba duhutna, muba luat sai adong do muba adatna.
Eme na masak di gagat ursa , ia i namasa ima di ula.
Aek godang aek laut, dos niroha sibahen nasaut
Sori manungkun sori mandapot, sai matua marpanungkun tu na nidapot.
Tangan do botohon, ujungna jari-jari, Bangko nihata si dohonon, asal ma jumolo marsatabi.
Ramba na poso na so tubuan lata, halak na poso na so umboto hata.
Tampuk ni sibaganding di dolok ni pangiringan, horas ma hamu na marhaha maranggi, sai masipairing-iringan.
Bola-bola ni tangan, sitongka i bolahononhon, bola-bola ni halak, sitongka i tangihononhon.
Tinallik randorung bontar gotana, Dos do anak dohot boru nang pe pulik margana, ai dompak marmeme anak, dompak do tong marmeme boru, andung ni anak sabulan di dalan, andung ni boru sataon.
Habang leang-leang songgop tu parapian, Bolak ni rosu angka na marpariban, sai masitopot-topotan songon pidong leang-leang.

MP3 batak faforitku